Pena Engineer-Kolaka. Para Peneliti dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang kembali melakukan penelitian di Pegunungan
Mekongga Sulawesi Tenggara pada 15-25 Desember 2009, menegaskan bahwa
Kawasan ini harus ditingkatkan statusnya menjadi kawasan Konservasi.
Penegasan dari para peneliti ini bukan tidak beralasan, selama melakukan
penelitian di kawasan ini, LIPI melihat banyak potensi sumber daya
alam dan keanekaragaman hayati di kawasan pegunungan ini yang harus di
lindungi, sementara hutan dataran rendah di kaki pegunungan Mekongga
yang cukup luas masih berlanjut dikonversi untuk lahan perkebunan kakao
dan penggunaan lainnya.
“Sebagian besar lahan hutan pegunungan
masih dalam kondisi baik, namun demikian, perambahan terjadi di hutan
pegunungan-bawah di ketinggian 100 hingga 500 mdpl untuk pembukaan lahan
kakao. Kegiatan penangkapan burung dan anoa pegunungan di kawasan ini
secara berlebihan merupakan bentuk tekanan lainnya terhadap habitat
flora dan fauna di pegunungan Mekongga” ungkap DR. Rosichon Ubaibillah,
peneliti zoology LIPI.
Penelitian flora dan fauna oleh yang
dilakukan oleh LIPI yang bekerja sama dengan Intstitut Teknologi Bandung
(ITB), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, serta
Universitas California-Davis Amerika ini dimaksudkan untuk
menginventarisasi keaneragaman flora dan fauna untuk kepentingan
pendidikan dan penelitian, konservasi dan bio energy alternantif serta
obat-obatan.
Penelitian tahap kedua selama sepuluh
hari itu juga melibatkan pendamping lokal dari masyarakat setempat (
warga desa Tinukari) dan kelompok Pecinta Alam Kolaka (Korps CITAKA-
Indonesia). Dalam penelitian kali ini para peneliti memfokuskan
penelitian di kawasan yang ketinggiannya sekitar 100 hingga 500 mdpl.
Meski belum diterbitkan, para peneliti LIPI yakin menemukan beberapa
genus baru dan endemik dari flora dan fauna yang cukup unik dan sangat
menarik di kawasan ini.
Peneliti lipi dibidang Botani, Proffesor
DR. Elizabeth A. Widjaja, mengemukakan sejumlah jenis tumbuhan yang ada
di pegunungan ini diduga adalah marga atau genus baru, salah satunya
adalah jenis bambu merambat . Proffesor riset LIPI yang menyelesaikan
program Doktor di bidang Taksonomi Bambu Universtas Birmingham Inggris
ini, meyakini bambu yang banyak dijumpai di sepanjang sungai Tinukari di
ketinggioan 50-300 mdpl dikawasan pegunungan mekongga ini adalah genus
baru yang sangat spesifik. “ Umumnya jenis bambu merambat tumbuh di
dataran tinggi dan daunnya lebar-lebar, namun yang satu ini berbeda,
tumbuh di ketinggian yang rendah dan daunnya kecil-kecil” ungkap
Professor yang sudah berumur 58 tahun itu.
Lebih jauh, Proffesor DR. Elizabeth A.
Widjaja menjelaskan, keunikan bambu merambat ini memiliki bulu lentik
pada ruasnya yang sangat cantik dan diseluruh batangnya memiliki
bulu-bulu pengait yang memungkinkanya merambat dan menempel pada media
disekelilingnya. “ ini bisa menjadi tanaman hias yang cukup cantik dan
berpontensi” tambahnya.
Selain itu para peneliti flora juga menemukan jenis tanaman hias yang sangat menarik dan endemic khas Sulawesi, seperti Begonia Aptera, anggrek, paku-pakuan, dan berbagai jenis lainnya yang bisa dikembangkan untuk bio energy dan obat-obatan.
Para peneliti burung juga menemukan
beberapa spesies burung endemik dan khas Sulawesi, peneliti burung
LIPI, Hidayat Ashari mengungkapkan beberapa spesies burung yang endemik
banyak terlihat di kawasan hutan pegunungan ini. Dalam pengamatannya di
ketinggian 10-500 mdpl selama kurang lebih sepuluh hari tersebut,
Alumnus Biologi Universitas Padjajaran Bandung ini, mendata paling
sedikit lima puluh jenis burung dan beberapa diantaranya adalah jenis
endemic Sulawesi. Seperti Rangkong Sulawesi (Acerox Cassidix) , elang ular sulawesi (Spilornis Rufipectus), sub jenis srigunting kacamata warna putih (Dicrurus Hottentottus), Raja-perling Sulawesi atau jalak konde (Basilornis Celebensis), golongan burung kekep ( Artamus Monachus), berbagai burung semak (Centropus Celebensis) .
“ Kami juga menemukan burung kutilang (Pycnonotus Aurigaster)
, burung ini sebenarnya adalah burung asli di jawa dan sunda kecil,
burung ini sangat melimpah sehingga sudah mulai menyebar hingga ke
Sulawesi, catatan terakhir terlihat di Enrekang, dan kami sudah
menemukannya pula di Mekongga, satu hal yang perlu dicatat, apabila
berada di suatu hutan, itu pertanda hutan itu sudah mulai rusak ,
biasanya areal hutan yang sudah di babat” terang Hidayat.
Lebih jauh Peneliti Muda LIPI ini,
Hidayat Ashari mengemukakan, penyebaran dan burung-burung hingga ke
Mekongga ini juga sangat kompleks dan belum benar-benar dimengerti,
hingga perlu penelitian lebih jauh, seperti ditemukannya burung migran
Kankok Ranting (Cuculus Saturatus) yang merupakan burung yang
berasal dari India yang memang biasa menyebar keselatan, beberapa jenis
spesises burung yang endemic juga keberadaanya hampir punah karena
perburuan dan tekananan aktifitas manusia.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di
pegunungan Mekongga ini merupakan bagian keunikan di kawasan walaceana
yang juga menjadi habitat dari berbagai jenis serangga. Dalam penelitian
yang rencananya akan berlangsung secara bertahap hingga tahun 2013 itu,
para peneliti serangga juga menemukan beberapa jenis serangga yang
tidak kalah menariknya dan merupakan genus baru dan endemik yang
terdapat di pegunungan ini.
“Kita melihat ada beberapa kelompok
serangga yang berasosiasi dengan mikroba yang berpotensi menghasilkan
bio prospeksi untuk industry-industri tertentu yang bisa menghasilkan
bio fuel dan bahan-bahan obat, seperti kelompok serangga pemakan kayu
(larvanya), serangga ini berasosiasi dengan mikro perombak selulose yang
kemungkinan besar new spesies” jelas DR. Rosichon Ubaibillah
Dari berbagai potensi yang dimiliki pegunungan Mekongga tersebut, DR. Rosichon Ubaibillah
berharap pemerintah mengambil kebijakan
yang tepat untuk perlindungan kawasan ini, dari kawasan hutan lindung
menjadi kawasan konservasi.
“ Kami sebagai peneliti hanya bisa
meneliti, pengambilan keputusan berada ditangan pemerintah, mau dirusak
kawasan ini atau mau dilindungi itu berada ditangan pemerintah dan
masyarakat setempat, penelitian kami ini memakan waktu lama, kalau
menunggu hasilnya untuk mengambil keputusan, kami yakin itu akan
terlambat, kawasan ini akan rusak parah, karena dari pengamatan kami,
aktifitas manusia dalam hutan pegunungan Mekongga ini sangat menonjol,
seperti pembukaan lahan perkebunan kakao, perburuan besar-besaran
terhadap Anoa, serta pembalakan liar yang tak terkendali” Tegas Doktor
alumnus Universitas Ibaraki Jepang ini.
Sementara itu Ketua Umum Korps Citaka,
Ir. Muh. Rais Ambo mengatakan, penelitian LIPI di pegunungan itu bisa
menjadi dasar untuk menjadikan Pegunungan Mekongga Menjadi Taman
Nasional. (www.citaka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar