Selasa, 06 November 2012

LIPI : PEGUNUNGAN MEKONGGA HARUS JADI KAWASAN KONSERVASI

foto-bersama
Pena Engineer-Kolaka. Para Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang kembali melakukan penelitian di Pegunungan Mekongga Sulawesi Tenggara pada 15-25 Desember 2009, menegaskan bahwa Kawasan ini harus ditingkatkan statusnya menjadi kawasan Konservasi. Penegasan dari para peneliti ini bukan tidak beralasan, selama melakukan penelitian di kawasan  ini, LIPI melihat banyak potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di kawasan pegunungan ini yang harus di lindungi, sementara hutan dataran rendah di kaki pegunungan Mekongga yang cukup luas masih berlanjut dikonversi untuk lahan perkebunan kakao dan penggunaan lainnya.
“Sebagian besar lahan hutan pegunungan masih dalam kondisi baik, namun demikian, perambahan terjadi di hutan pegunungan-bawah di ketinggian 100 hingga 500 mdpl untuk pembukaan lahan kakao.  Kegiatan penangkapan burung dan anoa pegunungan di kawasan ini secara berlebihan merupakan bentuk tekanan lainnya terhadap habitat flora dan fauna di pegunungan Mekongga” ungkap DR. Rosichon Ubaibillah, peneliti zoology LIPI.
Penelitian flora dan fauna oleh yang dilakukan oleh LIPI yang bekerja sama dengan Intstitut Teknologi Bandung (ITB), Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, serta Universitas California-Davis Amerika  ini dimaksudkan untuk menginventarisasi keaneragaman flora dan fauna untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, konservasi  dan bio energy alternantif serta obat-obatan.
Penelitian tahap kedua selama sepuluh hari itu juga melibatkan pendamping lokal dari masyarakat setempat ( warga desa Tinukari) dan kelompok Pecinta Alam Kolaka (Korps CITAKA- Indonesia).  Dalam penelitian kali ini para peneliti memfokuskan penelitian di kawasan yang ketinggiannya sekitar 100 hingga 500 mdpl. Meski belum diterbitkan,  para peneliti LIPI yakin menemukan beberapa genus  baru dan endemik dari flora dan fauna yang cukup unik dan sangat menarik di kawasan ini.
Peneliti lipi dibidang Botani, Proffesor DR. Elizabeth A. Widjaja, mengemukakan sejumlah jenis tumbuhan yang ada di pegunungan ini diduga adalah marga atau genus baru, salah satunya adalah jenis bambu merambat . Proffesor riset LIPI yang menyelesaikan program Doktor di bidang Taksonomi Bambu Universtas Birmingham Inggris ini, meyakini bambu yang banyak dijumpai di sepanjang sungai Tinukari di ketinggioan 50-300 mdpl dikawasan pegunungan mekongga ini adalah genus baru yang sangat spesifik. “ Umumnya jenis bambu merambat tumbuh di dataran tinggi dan daunnya lebar-lebar, namun yang satu ini berbeda, tumbuh di ketinggian yang rendah dan daunnya kecil-kecil” ungkap Professor yang sudah berumur 58 tahun itu.
Lebih jauh, Proffesor DR. Elizabeth A. Widjaja menjelaskan, keunikan bambu merambat ini memiliki bulu lentik pada ruasnya yang sangat cantik dan diseluruh batangnya memiliki bulu-bulu pengait yang memungkinkanya merambat dan menempel pada media disekelilingnya. “ ini bisa menjadi tanaman hias yang cukup cantik dan berpontensi” tambahnya.
Selain itu para peneliti flora juga menemukan jenis tanaman hias yang sangat menarik dan endemic khas Sulawesi, seperti Begonia Aptera, anggrek, paku-pakuan,  dan berbagai jenis lainnya yang bisa dikembangkan untuk bio energy dan obat-obatan.
Para peneliti burung juga menemukan beberapa spesies burung  endemik dan khas Sulawesi, peneliti burung LIPI, Hidayat Ashari mengungkapkan beberapa spesies burung yang endemik banyak terlihat di kawasan hutan pegunungan ini. Dalam pengamatannya di ketinggian 10-500 mdpl selama kurang lebih sepuluh hari tersebut, Alumnus Biologi Universitas Padjajaran Bandung ini, mendata paling sedikit lima puluh  jenis burung dan beberapa diantaranya adalah jenis endemic Sulawesi. Seperti Rangkong Sulawesi (Acerox Cassidix) , elang ular sulawesi (Spilornis Rufipectus), sub jenis srigunting kacamata warna putih (Dicrurus Hottentottus), Raja-perling Sulawesi atau jalak konde (Basilornis Celebensis),  golongan burung  kekep ( Artamus Monachus), berbagai burung semak (Centropus Celebensis) .
“ Kami juga menemukan burung kutilang (Pycnonotus Aurigaster) , burung ini sebenarnya adalah burung  asli di jawa dan sunda kecil, burung ini sangat melimpah sehingga  sudah mulai menyebar hingga ke Sulawesi, catatan terakhir terlihat di Enrekang, dan kami sudah menemukannya  pula di Mekongga, satu hal yang perlu dicatat, apabila berada di suatu hutan, itu pertanda hutan itu sudah mulai rusak , biasanya areal hutan yang sudah di babat” terang Hidayat.
Lebih jauh Peneliti Muda LIPI ini, Hidayat Ashari mengemukakan, penyebaran dan burung-burung  hingga ke Mekongga ini juga sangat kompleks dan belum benar-benar dimengerti, hingga perlu penelitian lebih jauh, seperti ditemukannya burung migran Kankok Ranting (Cuculus Saturatus)  yang merupakan burung yang berasal dari India yang memang biasa menyebar keselatan, beberapa jenis spesises burung yang endemic juga keberadaanya hampir punah karena perburuan dan tekananan aktifitas manusia.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di pegunungan Mekongga ini merupakan bagian keunikan di kawasan walaceana yang juga menjadi habitat dari berbagai jenis serangga. Dalam penelitian yang rencananya akan berlangsung secara bertahap hingga tahun 2013 itu, para peneliti serangga juga menemukan beberapa jenis serangga yang tidak kalah menariknya dan merupakan genus baru dan endemik yang terdapat di pegunungan ini.
“Kita melihat ada beberapa kelompok serangga yang berasosiasi dengan mikroba yang berpotensi menghasilkan bio prospeksi untuk industry-industri tertentu yang bisa menghasilkan bio fuel dan bahan-bahan obat, seperti kelompok serangga pemakan kayu (larvanya), serangga ini berasosiasi dengan mikro perombak selulose yang kemungkinan besar new spesies” jelas DR. Rosichon Ubaibillah
Dari berbagai potensi yang dimiliki pegunungan Mekongga tersebut, DR. Rosichon Ubaibillah
berharap pemerintah mengambil kebijakan yang tepat untuk perlindungan kawasan ini, dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan konservasi.
“ Kami sebagai peneliti hanya bisa meneliti, pengambilan keputusan berada ditangan pemerintah, mau dirusak kawasan ini atau mau dilindungi itu berada ditangan pemerintah dan masyarakat setempat, penelitian kami ini memakan waktu lama, kalau menunggu hasilnya untuk mengambil keputusan, kami yakin itu akan terlambat, kawasan ini akan rusak parah, karena dari pengamatan kami, aktifitas manusia dalam hutan pegunungan Mekongga ini sangat menonjol, seperti pembukaan lahan perkebunan kakao, perburuan besar-besaran terhadap Anoa, serta pembalakan liar yang tak terkendali” Tegas Doktor alumnus Universitas Ibaraki Jepang ini.
Sementara itu Ketua Umum Korps Citaka, Ir. Muh. Rais Ambo mengatakan, penelitian LIPI di pegunungan itu bisa menjadi dasar untuk menjadikan Pegunungan Mekongga Menjadi Taman Nasional. (www.citaka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar