Kolaka-Pena Engineer. Keragaman
hayati dan keunikan pegunungan Mekongga kembali mengundang para
peneliti. Kali ini peneliti asing asal Amerika bersama Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian di wilayah pegunungan
tertinggi di Sulawesi Tenggara ini selama kurang lebih sepekan. Para
Peneliti asing dan LIPI ini didampingi oleh personil Korps Pecinta Alam
Kolaka Indonesia (Korps Citaka).
Siang
itu (tanggal 1 agustus 2009) para peneliti asing, tim LIPI dan tim
Citaka, tiba di desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara.
Desa Tinukari adalah desa yang menjadi entry point pendakian menuju
puncak tertinggi Pegunungan Mekongga (2620 mdpl). Warga desa menyambut
gembira kedatangan para peneliti ini, karena selain penghasilan sebagian
warga bertambah dengan menjadi porter, mereka juga sangat senang dapat
berinteraksi dengan warga asing yang sangat jarang datang di desa
mereka.
Usai melakukan koordinasi dengan kepala desa Tinukari, bapak Martani,
Team yang terdiri delapan peneliti Warga Negara Asing, lima belas team
LIPI, dan enam personil Citaka, langsung menuju base camp Induk atau Pos
1
rute perjalanan menuju puncak. Perjalanan menuju Base Camp ini memakan
waktu sekitar kurang lebih tiga jam. Team beberapa kali harus
menyebrangi sungai Ranteangin, beruntung arus sungai tidak
terlalu deras mengingat di daerah ini belum memasuki musim penghujan,
sehingga perjalanan menyebrangi sungai berjalan mulus. Sungai Ranteangin
dengan lebar bervariasi antara 10 hingga 30 meter ini jika dimusim
penghujan sangat susah untuk disebrangi karena arus airnya meningkat
seiring dengan bertambahnya debit air.
Setibanya di Base Camp, team kemudian melakukan persiapan dengan
menyiapkan berbagai perlengkapan dan peralatan penelitian. Base camp
induk ini terletak di sisi utara percabangan sungai Ranteangin dan sungai Mosembo.
Dari Base Camp inilah para peneliti melakukan eksplorasi dan mendata
serta mengambil beberapa sample penelitian di sekitar base camp hingga
ke pos 2 rute perjalanan menuju puncak Mekongga.
Peneliti Burung dan Mamalia asal UCDAVIS yang beranggotakan Dr. Andre
Engilis Jr. , Alan Thomas Hitch dan Dr. John Alexander Trochet sangat
mengagumi keragaman jenis burung di daerah pegunungan Mekongga. “ Saya
sudah lama belajar dan mengamati berbagai jenis burung di dunia, namun
di daerah ini ada berbagai suara burung yang tidak pernah saya dengar,
ini menandakan wilyah ini merupakan habitat berbagai jenis burung
endemic “ Ungkap Jhon kepada penulis.
Yang paling mengagumkan bagi Alan Thomas Hitch, peniliti muda asal California ini adalah burung endemic Rangkong Sulawesi. Di tempat ini masih terlihat kawanan burung besar ini yang terbang dan hinggap mencari makan di pohon-pohon beringin.
Rangkong sulawesi atau Aceros cassidix adalah salah
burung rangkong terbesar diantara 54 jenis rangkong yang lain di daerah
tropis Asia dan Afrika. Bobot tubuhnya sekitar 2.5 kg dengan rentang
sayap bisa mencapai 1 m. Kepakan sayapnya ketika akan terbang seperti
suara helikopter yang lepas landas, dan ketika gliding atau
mendarat menimbulkan suara gemuruh yang khas seperti pesawat tempur.
Ketika terbang bunyi sayapnya dapat terdengar sampai 300 meter.
Rangkong sulawesi atau Aceros cassidix dalam bahasa suku Mekongga yaitu Hoa,
memiliki tubuh dan sayapnya yang berwarna hitam, sedang ekornya
berwarna putih, dan yang unik adalah memiliki sebuah tanduk yang besar
diatas paruh, warna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruh
berwarna kuning, memiliki kantung biru pada tenggorokkan dengan sebuah
garis gelap melintanginya. Leher sang jantan berwarna kuning-jingga,
sedangkan betina lehernya tetap berwarna hitam. Aceros cassidix
adalah burung yang paling setia dengan pasangannya, berpasangan hanya
dengan satu pasangan seumur hidupnya. Pasangan rangkong memiliki
sarangnya sendiri-sendiri bersama anak-anaknya. Selama masa
bereproduksi, sang jantan dengan setia bolak-balik ke sarang memberi
ransum makanan untuk betina yang setia di dalam lubang. Pada masa tidak
bereproduksi, mereka selalu berpasangan walau seringkali bergerombol
dengan teman-temannya di pohon. Kedua orang tuanya selalu mendampingi
setelah anaknya keluar dari sarang, belajar terbang, dan makan di pohon
buah. Memasuki masa kawin berikutnya, sang anak sudah tak lagi berada di
dekat orang tuanya.
Saat tidak bereproduksi, rangkong dapat berkelana mencari makan
rata-rata 10,5 km per hari, bahkan ada yang mencapai jarak 30 km. Daerah
jelajahnya juga bervariasi antara 39,8 sampai 55,8 km. Saat itu pula,
rangkong ’melaksanakan’ tugasnya sebagai penyebar benih. Biji dari buah
yang dimakan rangkong tidak hancur. Hal itu memungkinkan biji dapat
disebarkan cukup jauh dari induknya. Jika rangkong sudah mulai
mengepakan sayapnya, lalu meluncur menyusuri hutan, maka biji dari buah
yang dimakannya akan disebarkan cukup jauh dari induknya. Sehingga
regenerasi dan reforestasi hutan dapat berjalan secara alamiah. Jadi,
tentunya sudah kewajiban kita untuk menjaga kelestariaannya dan
fungsinya di alam.(sumber : profauna).
Walau statusnya adalah salah satu satwa yang dilindungi, namun
didaerah ini masih banyak perburuan yang dilakukan, begitu juga
perambahan dan penebangan pohon-pohon besar yang menjadi habitatnya.
Sudah selayaknya sedari sekarang kita menghentikannya.
Selain burung Rangkong Sulawesi, berbagai jenis burung yang terdapat
di daerah ini juga terancam punah. Liahat saja, para pemburu burung
dengan senapan angin di tenteng sangat sering dijumpai, bahkan hampir
setiap orang yang berkebun didaerah ini memiliki senapan angin. Selain
burung, para peneliti juga meneliti berbagai mamalia lain, seperti tikus
dan kelelawar. Walau harus melakukan riset yang mendalam lagi di
laboratorium tentang mamalia ini, para peneliti sudah bisa memastikan
bahwa terdapat beberapa jenis yang endemic pegunungan Mekongga.
Mamalia lain yang menjadi perhatian adalah Anoa. Anoa adalah hewan khas Sulawesi. Ada dua spesies anoa yaitu: Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis).
Keduanya suka berada dalam hutan yang lebat. Anoa memiliki sepasang
tanduk runcing yang tidak bercabang dan memiliki berat 150-300 kg.
Kedua spesies tersebut dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Di Untuk Pegunungan Mekongga, spesies yang hidup adalah Bubalus quarlesi. Di Sulawesi Tenggara, hewan ini menjadi kebanggan dengan menaruhnya sebagai lambang daerah dari propinsi ini.
Sayangnya kebanggan tersebut tidak dibarengi dengan perhatian
pelestarian untuk hewan ini. Lihat saja, hampir sebagian daratan atan
Sulawesi Tenggara di kuasai oleh perusahaan tambang nikel, pembukaan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit, yang tidak dibarengi dengan upaya
perlindungan hewan ini. Tak ada satu tempatpun di daratan Sulawesi
Tenggara yang dijadikan wilayah konservasi perlindungan anoa dataran
tinggi, padahal sejak tahun 1960-an Anoa, berada dalam status terancam
punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih
bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan
dagingnya.
Anoa Pegunungan juga dikenal dengan nama Mountain Anoa, atau dalam bahasa daerah Mekongga disebut Kadue,
yang kini kelangsungan hidupnya juga terancam. Jikalau dulu, jejak dan
kotoran anoa masih sering kita jumpai di hampir seluruh rute pendakian,
kini kita hanya bisa mendapatkannya di rute-rute tertentu seperti di
rute ketinggian 1.800 atau atas puncak vaksinium. Ini pertanda populasi
mereka semakin berkurang. Betapa tidak, kontrol terhadap perburuan hewan
ini, sama sekali tidak ada. Hampir setiap masyarakat di daerah kaki
gunung Mekongga masih menganggap anoa adalah hewan buruan yang sangat
lezat untuk dinikmati. Bahkan pada beberapa waktu-waktu tertentu,
seperti menjelang ramadhan, menjelang Idul Fitri atau Idul Adha, atau
menjelang berbagai acara pesta, beberapa penduduk desa mulai menjelajahi
hutan pegunungan Mekongga untuk berburu Anoa. Dengan puluhan ekor
anjing dan tombak pemburu ditangan, para penduduk bisa mendapatkan
antara tujuh hinga dua puluh ekor sekali berburu.
Sungguh sangat mengerikan, kelangsungan hewan kebanggan daerah
Sulawesi Tenggara ini terancam hanya untuk ketamakan manusia, belum lagi
perambahan dan pembukaan lahan untuk kebun coklat semakin merajalela.
Rute-rute pendakian yang dahulunya hutan lebat, kini berubah menjadi
perkebunan coklat. Habitat Anoa pegununganpun semakin berkurang dan
Anoa terancam punah dari bumi Sulawesi.
Selain beberapa mamalia yang menjadi perhatian para peneliti asing
dan LIPI, mereka juga mencoba mengungkap keragaman mikroba dan serangga
di daerah ini. Dan yang paling mengagumkan dari daerah hutan pegunungan
Mekongga ini, adalah keanekaragaman floranya. Danniel Potter, peniliti
flora asal Amerika, menyayangkan pembukaan hutan untuk perkebunan coklat
di sepanjang pos awal rute pendakian. Menurutnya ini bisa mengancam
populasi tumbuhan endemic lainnya yang ada di pegunungan ini, karena
masyarakat lain akan berlomba-lomba membuka hutan di sepanjang rute
pendakian.
Kali ini Para peneliti flora harus menelan sedikit kecewa, karena
beberapa spesies flora tidak dalam musim berbunga, sehingga para
peneliti tidak bisa menyaksikan keragaman flora dengan bunga-bunga
indah. Namun bagi Dr. Elizabeth A. Widjaja, professor riset LIPI,
pegunungan Mekongga adalah habitat yang unik bagi flora yang unik pula.
Walaupun belum dapat di pastikan adalah jenis baru, Dr. Elizabeth
menemukan satu jenis bamboo yang unik di daerah ini. Menurutnya masih
harus proses penelitian selanjutnya. Bamboo yang dimaksud adalah, bamboo
yang merambat di tebing-tebing karst sepanjang di sepanjang sungai
Ranteangin.
Survey awal dari Para peneliti ini hanya berlangsung hingga tanggal 6
Agustus 2009, namun tiga orang team flora dari LIPI didampingi sepuluh
anggota Korps Pecinta Alam Kolaka melanjutkan penelitian hingga ke
puncak tertinggi pegunungan Mekongga sampai tanggal 12 Agustus 2009
untuk mendata dan mengumpulkan beberapa sampel flora yang dijumpai.
Semoga catatan singkat dari kedatangan tim peneliti ini menjadi
perhatian bagi semua pihak untuk menyelamatkan keanekaragaman hayatai di
pegunungan Mekongga. (M.Sf/www.citaka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar